Perlukah Kita Memboikot Produk Unilever?


Melalui akun Instagram resminya Unilever Global ikut serta memberikan dukungan terhadap kaum LGBT. Didukung pula dengan visual logo Unilever dengan corak warna pelangi yang menjadi simbol sekaligus logo LGBT. Hal tersebut sontak menimbulkan polemik di jagat dunia maya. Dari yang biasa saja hingga menyuarakan untuk memboikot aneka produk Unilever yang diklaim mendukung LGBT. Padahal pihak Unilever cabang Indonesia sama sekali tidak mempublikasikan apapun terkait dukungan terhadap kaum LGBT.

Latar belakang publikasi dukungan terhadap kelompok LGBT tersebut yakni bulan Juni yang merupakan pride month, tidak hanya komunitas LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender) yang merayakan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri. Namun, pride month sendiri telah menjadi kampanye pemasaran bagi para kapitalis. Dari segi public relation dan marketing selain sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) penggunaan embel-embel pride month dapat menjadi penarik perhatian publik. Bahkan perusahaan di seluruh dunia telah bergerak dalam bidang kemanusiaan, tidak heran jika mereka ramah terhadap kelompok LGBT.

Masyarakat Indonesia memang dikenal kental dengan nilai dan norma agama. Semangat dalam menghabisi perilaku yang melenceng tentunya juga sangat tinggi. Termasuk seruan pemboikotan produk Unilever yang diklaim mendukung kaum LGBT. Sayang sekali dalam melakukan kampanye pemboikotan tersebut masih menggunakan alat-alat yang diproduksi oleh perusahaan yang mendukung LGBT seperti Facebook, Whatsapp, dan Instagram. Dalam artian menerapkan standar ganda.

Lantas bagaimana sebaiknya kita menyikapi pemberitaan tersebut? Apakah dengan adanya dukungan suatu perusahaan terhadap kaum LGBT harus diboikot semua produknya?. Menurut Warta Ekonomi tercatat ada 200 perusahaan Amerika Serikat yang mendukung LGBT, termasuk Amazon, Google Alphabet Inc, dan Bank of America. Bahkan media sosial yang kita pakai sehari-hari seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Jauh sebelum Unilever mempublikasikan logo Unilever dengan corak pelangi.

Bahkan Instagram sendiri mendukung secara terang-terangan. Terbukti dengan adanya sticker serta hashtag khas pride month sebagai dukungan serta untuk merayakan bulan bersejarah bagi kaum LGBT. Tidak perlu jauh-jauh, Google yang sangat sering kita gunakan, bahkan operation system android pada smartphone juga merupakan produk Google. Akankah kita memboikotnya? Jika dipikir-pikir, dengan memboikot produk dari perusahaan LGBT bisa-bisa kita jadi manusia pra aksara

Jujur menurut saya tindakan pemboikotan terlalu berlebihan, lagipula cabang Unilever di Indonesia tidak ada mempublikasikan keberpihakannya terhadap LGBT. Terbukti dengan adanya klarifikasi dari pihak Unilever di Indonesia yang dikutip dari CNBC Indonesia “Kami telah berada di Indonesia selama 86 tahun, dan kami selalu menghormati dan memahami budaya, norma dan nilai-nilai setempat. Oleh karena itu, kami akan selalu bertindak dan menyampaikan pesan-pesan yang sesuai dengan budaya, norma dan nilia-nilai yang berlaku di Indonesia,” terang Sancoyo selaku Governance and Corporate Affairs Director Unilever Indonesia.

Daripada menyorot Unilever Global yang mempublikasikan dukungan terhadap LGBT. Sebaiknya kita juga melihat ada banyak program CSR yang dilakukan Unilever di Indonesia seperti bantuan sumbangan produk Unilever yang disalurkan kepada PMI (PalangMerah Indonesia) dalam rangka Hari Palang Merah pada 8 Mei 2020. Kemudian donasi produk Unilever senilai 50 miliar yang disalurkan kepada masyarakat melalui berbagai program kemitraan dalam rangka pencegahan penularan covid-19.

Jika Unilever memang sepenuhnya pro dan mendukung LGBT, lantas mengapa ada produk Pepsodent siwak yang dikemas dalam corak muslim. Tak lupa pula dengan label halal, lagipula apa salahnya jika menyumbang uang untuk kaum yang didiskriminasi? Apakah dalam sedekah diharuskan memvalidasi orang tersebut seratus persen muslim yang taat, alim dan tidak penuh dosa? Tidak perlu repot-repot memboikot, toh jika kualitas suatu produk itu buruk juga akan mati dengan sendirinya.

Kemungkinan buruk jika pemboikotan produk Unilever itu berdampak, tentunya yang menerima dampaknya secara langsung bukanlah kaum LGBT. Malahan saudara-saudara seiman yang bekerja di perusahaan tersebut kehilangan mata pencahariaan yang diakibatkan pemboikotan produk Unilever, sehingga perusahaan bangkrut. Itu berarti jika pemboikotan berhasil yang pertama sekali terkena dampaknya buruh serta pekerja di perusahaan Unilever yang mungkin saudara seiman dengan Anda.

Saya pikir terlalu berlebihan jika memboikot dalam artian berhenti melakukan konsumsi terhadap produk-produk yang mendukung LGBT. Memangnya kita siap untuk tidak mengonsumsi semua produk tersebut? Boikot produk LGBT kok setengah-setengah. Alih-alih memboikot dengan cara seperti itu, lebih baik meningkatkan kualitas diri serta sumber daya sendiri untuk menciptakan inovasi. Jika mampu hidup tanpa produk tersebut, buatlah produk dengan kualitas menyaingi mereka yang mendukung LGBT. Kalau bisa tanpa menggunakan media yang dibuat perusahaan yang mendukung LGBT.

Bagi saya tidak perlu memboikot produk-produk tersebut. Jika Anda yang ingin memboikot produk Unilever silakan saja, itu merupakan hak kebebasan Anda. Mau memanfaatkan momen ini untuk mempromosikan produk dengan embel-embel agama juga silakan saja. Asal tidak menggunakan kuasa negara yang ditopang oleh seluruh pembayar pajak. Dan selama tidak mengancam hak kebebasan orang lain. Bayangkan saja alangkah  jika pajak yang dibayar oleh segenap warga Indonesia digunakan untuk menyelesaikan masalah atas dasar emosi, ketersinggungan, dan ketidaksesuaian dengan suatu kaum (intoleran). Dengan kata lain menggunakan tangan negara untuk menyamaratakan perbedaan.

 

Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai