Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai

 


 Hidup bahagia dengan berani tidak disukai? Memangnya siapa sih yang senang dibenci orang lain? Dalam buku berjudul "Berani Tidak Disukai" saya akan mengulas beberapa poin-poin kenapa kita bisa bahagia dengan berani tidak disukai.

 Buku ini membahas bagaimana kita bisa bahagia dari sudut pandang filosofis psikologis Adler. Mendengar psikologi dan filsafat mungkin terkesan berat. Menurut saya cukup ringan menjelajahi lembar demi lembar yang disajikan  dalamb dialog percakapan seorang filsuf dengan seorang pemuda yang tengah mengalami krisis jati diri serta mencari makna kebahagiaan. Masalah yang dialami pemuda ini saya kira cukup relevan dalam mewakili masalah muda-mudi jaman now yang lagi dirundung krisis eksistensi. Selain itu pilihan diksinya tidak melulu teoritis serta mudah dipahami.

"Keberanian untuk bahagia juga mencakup keberanian untuk tidak disukai. Ketika kau sudah memperoleh keberanian ini, seluruh hubungan interpersonalmu akan segera berubah menjadi sesuatu yang ringan."

Bahagia Adalah Pilihan
 Pada malam pertama sang pemuda pergi ke tempat sang filsuf, menyangkal keberadaan trauma. Menurut psikologi Adler, trauma ada bukan karena sebab-akibat melainkan karena kita memilihnya. Teori psikologi Adler menolak prinsip determenisme (sebab-akibat) atau dalam Freud disebut Aetiologi. Prinsip Aetiologi menitikberatkan pada sebab akibat. Sedangkan psikologi Adler lebih menitikberatkan prinsip teleologi, yakni keputusan dalam mengambil sikap. Trauma mempengaruhi hidup seseorang karena orang itu yang memilihnya. Begitu juga dengan bahagia bukan akibat belaka, melainkan sebuah keputusan yang kita ambil.

Hubungan Interpersonal
  Menurut psikologi Adler segala permasalahan manusia berada pada hubungan interpersonal. Menurutnya hubungan interpersonal yang baik adalah hubungan yang horizontal. Hubungan vertikal membuat kita melihat orang terkotak-kotak ini atasan ini bawahan. Dalam hubungan interpersonal yang horizontal, kita dapat memiliki satu sama lain. Kita setara, tetapi bukan berarti sama.
 Konsep yang cukup menampar bagi penganut senioritas. Bukan berarti memperlakukan anak kecil atau yang lebih muda sama seperti orang dewasa atau orang tua. Namun berinteraksi dengan sungguh-sungguh sebagai sesama manusia. Tidak penting apakah seseorang berjalan di depan atau di belakang. Kita tidak perlu melakukannya karena perlu bersaing dengan orang lain. Di saat itulah ada nilai yang bisa didapatkan.

Hasrat Ingin Diakui
  Pada malam ketiga sang pemuda belajar bagaimana memisahkan tugas kita dengan orang lain. Diawali  dengan penyangkalan terhadap hasrat ingin diakui. Berjuang agar diakui orang lain, di sini dijelaskan bahwa memburu pengakuan orang lain tak akan ada habisnya. Orang yang hidup demi memenuhi ekspektasi orang lain berarti tidak mencintai dirinya sendiri. Karena saat seseorang mencari pengakuan orang lain, ia hanya memandang dirinya berdasarkan penilaian orang lain, pada akhirnya ia sama dengan orang yang sedang menjalani kehidupan orang lain.
 Bahkan hasrat untuk diakui ini diterapkan di sekolah-sekolah. Konsep reward-punishment yang diterapkan di sekolah, dan di rumah. Jika anak-anak memenuhi ekspektasi orang tua atau guru akan diberi hadiah dan jika tidak maka sebaliknya, akan diberi hukuman. Konsep inilah yang menumbuh subrkannya hasrat untuk diakui sejak dini. Anak-anak akan berjuang mati-matian demi memenuhi ekspektasi orang tua atau guru.

Pembagian Tugas
 Maka dari itu Kishimi menyatakan bahwa jangan hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tidak memenuhi ekspektasi orang lain bukan berarti kita dapat bertindak seenaknya tanpa memikirkan orang lain.
  Untuk itu ditawarkanlah konsep pembagian tugas, saya maknai kurang lebih sama seperti dikotomi kendali pada filosofi stoa (teras).  Inilah yang paling menarik bagi saya. Mungkin pepatah ini bisa menggambarkan pembagian tugas yang dimaksud "Engkau bisa membawa kuda ke air, tapi tidak bisa menyuruhnya meminum air".
  Contohnya, seorang murid sekolah memiliki tugas dari sekolah. Tugas tersebut merupakan tanggung jawab anak sebagai murid dalam keluarga. Tugas orang tua yakni mengingatkan tugas sang anak sebagai murid serta membimbingnya. Orang tua tidak perlu mengganggu gugat tugas anak kecuali memang anak tak mampu dalam mengerjakan tugasnya dan memohon pertolongan. 
 Contoh di atas merupakan gambaran ideal dari pembagian tugas. Pada realitanya, orang tua kerap menghukum anak saat mereka tak mau atau menunda tugasnya. Misal tak boleh makan malam sebelum mengerjakan tugas. 

Insecure
  Menyoal hubungan interpersonal, buku ini juga membahas soal perasaan inferior  atau insecure. Tentunya tidak lepas dari kekhawatiran kita dengan hadirnya persepsi orang lain. Kita cenderung melakukan sesuatu karena ingin dinilai baik, sehingga ketika melihat orang lain lebih baik kita merasa iri dan inferior. Perasaan inferior tak lebih dari perasangka subjektif saja, yang timbul semata-mata karena membandingkan diri dengan orang lain. Tidak ada yang salah dengan perasaan inferior selama itu membangun bukan merusak. Sebagai contoh "Aku tidak punya pendidikan yang tinggi, jadi aku hanya perlu berusaha lebih keras daripada yang lain". Kemudian untuk contoh inferior yang merusak "Aku tidak punya pendidikan yang tinggi, jadi aku tidak bisa sukses".
 Seperti diungkapkan sebelumnya, untuk menghargai diri sendiri kita tak perlu memenuhi ekspektasi orang lain. Dengan itulah kita bisa bahagia yakni dengan menerima diri kita apa adanya, dan memiliki keberanian menghadapi tugas-tugasnya. Tentunya dengan terus bergerak berkontribusi di dunia. Soal dihargai atau tidaknya kontribusi kita, itu di luar tugas kita. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang, oleh karena itu kita harus berani tidak disukai agar hidup kita bahagia.

Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living