Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

 

(Sumber foto: Pixabay.com)

Hari demi hari dilalui di bumi, makin lama makin menyengat kulit, dan memeras keringat manusia. Kata Laporan iklim tahunan yang terbaru, 93 persen kemungkinan terjadinya rekor suhu terpanas di Bumi pada 4 tahun yang akan datang. Air sungai tak lagi jernih gara-gara pencemaran, daratan jadi rawan banjir akibat aliran mereka tersumbat sampah mahakarya manusia, serta sakit alam lainnya. Bukan hanya karena bumi semakin tua, tetapi juga dipengaruhi manusia, yaitu makhluk kingdom animalia yang jumlahnya paling banyak di bumi.

Dari beberapa masalah yang saya paparkan di atas, banyak usaha mulai dilakukan manusia untuk menjaga sumber daya alam tetap lestari untuk generasi selanjutnya. Mulai dari melakukan penghijauan lewat penanaman pohon, melakukan daur ulang dan lain sebagainya. Dan yang paling populer di kalangan muda-mudi adalah sustainable living atau gaya hidup ramah lingkungan. Inilah yang akan saya bahas!

Apa itu sustainable living? Kalau bahasa Indonesianya, hidup berkelanjutan. Jadi, hidup berkelanjutan yang dimaksud di sini merupakan gaya hidup yang berupaya mengurangi penggunaan sumber daya alam oleh individu atau masyarakat, dan sumber daya pribadi seseorang. Biasa ditandai dengan mengurangi pemakaian plastik sekali pakai dan membeli pakaian bekas. Memang terobosan yang bagus, tetapi di beberapa kasus, saya tergelitik dengan beberapa hal yang menurut saya salah kaprah dilakukan dalam menerapkan gaya hidup ini. Berikut akan saya bahas 

Dilema tote bag

Pertama, adalah terus menerus menumpuk produk ramah lingkungan. Contohnya saja maraknya pemakaian tote bag, bukannya cukup beli satu untuk menggantikan kantong plastik, tapi malah mengoleksi selemari. Bagaimana tidak? Saat ini banyak produsen yang memberi konsumennya tote bag setiap pembelian barang mereka. Bahkan juga dipakai sebagai bagian dari promosi atau pemasaran produk. Ini mengakibatkan penumpukan yang tidak perlu, sebab kita membeli (atau diberi) lebih banyak dari yang dibutuhkan. Sehingga menjadi koleksi yang menumpuk yang bahkan tidak dipakai sama sekali, lalu berakhir di pembuangan sampah.Memang bagus menciptakan barang substitusi tapi, jika tingkat konsumsinya tinggi tentu akan menimbulkan sampah baru. Lebih baik kita menerapkan sikap merasa cukup apabila telah mempunyai suatu barang. Hindari menumpuk barang berujung menambah sampah. 

Selain itu, walau lebih ramah lingkungan dibanding kantong plastik sekali pakai, tote bag, apapun materialnya, ternyata butuh lebih banyak energi untuk memproduksi, menyalurkan, dan mendaur ulang. Seperti membutuhkan tenaga kerja, serta mesin jahit.

Nah, jika sudah terlanjur mengoleksi tote bag, jangan cemas, tas yang telah lusuh jangan langsung dibuang, sebaiknya disumbangkan atau dijual kembali. Dan usahakan menggunakan tote bag sesering mungkin, Menurut, studi yang pernah dilakukan oleh Ministry of Environment and Food of Denmark, tote bag dengan bahan katun organik perlu digunakan sebanyak 20.000 kali untuk mengimbangi dampak lingkungan.

Embel-embel barang ramah lingkungan bikin FOMO

Kedua, sifat konsumtif tadi tidak luput dari embel-embel barang yang katanya lebih ramah lingkungan. Para konsumen macam kita perlu waspada nih jangan hanya karena fear of missing out, kita jadi ikut-ikutan membeli suatu produk dengan label ramah lingkungan tanpa adanya cross check.

Kita pasti pernah melihat iklan atau kemasan suatu produk dengan logo atau label sustainable, kemasan berasal dari bahan daur ulang dan sebagainya. Nah, inilah yang disebut dengan greenwashing, yakni usaha produsen agar produk yang dijualnya terlihat lebih ramah lingkungan. Tapi, tentu tak semua produk yang diklaim ramah lingkungan benar-benar ramah lingkungan. Maka dari itu, kita perlu teliti dengan melakukan pengecekan pada klaim hijau produk dalam bahasa sederhana dan jenis yang dapat dibaca di dekat klaim tersebut. Atau lebih baik hindari produk denhan klaim berlebihan seperti 30% biodegradable, dan lain sebagainya.

Namun, greenwashing bukan hanya dosa perusahaan saja. Kampanye dan iklan digencarakan tentu untuk memenuhi demand atau permintaan dari konsumen. Banyak konsumen yang mendukung gerakan ramah lingkungan tanpa menganalisis terlebih dahulu tindakan yang diambil produsen. Hal ini disebabkan konsumen yang terlalu optimis terhadap apa yang ditawarkan produsen serta memiliki pemahaman yang sempit mengenai kepedulian lingkungan.

Budaya thrift makin eksklusif

Ketiga, mengenai thrift store dengan harga kian melonjak. Alih-alih menyasar kalangan ekonomi bawah, harga pakaian bekas malah kian melonjak. Jadi, baju bekas yang seharusnya bertujuan meratakan kepemilikan properti sandang pada masyarakat, ujung-ujungnya akan menumpuk di kalangan ekonomi menengah ke atas.  Inilah yang disebut sebagai gentrifikasi sosial, yakni ketika kelas sosial atau daerah kosong di kawasan tengah kota menjadi kawasan kelompok kelas menengah atau untuk tujuan komersial (Lees, Slater, & Wyly, 2007). Dapat dimaknai ketika kelas menengah mengonsumsi barang yang ditujukan kepada kelas bawah.

Menurut Ronobir (2020) dalam penelitiannya The socioeconomic causes and effects of the gentrified thrifting Experience “Meningkatnya permintaan oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas mengakibatkan banyak toko barang bekas menaikkan harga sehingga memperburuk ketimpangan pendapatan dan secara efektif meminggirkan penduduk yang paling bergantung pada pakaian bekas.” 

Mengutip dari Inibaru.id, para penjual pakaian bekas mengklarifikasi mahalnya harga pakaian bekas dikarenakan "semakin vintage, harga barang bekas ini bakal semakin tinggi," kalau sudah seperti ini, alih-alih menyediakan sandang dari kelas bawah yang mengandalkan pakaian bekas justu malah tambah mencekik.

Alternatif yang dapat saya usulkan mngenai tingginya harga pakaian thrift ini bisa diganti dengan tukar baju dan donasi. Agar distribusi sandang merata terutama kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.

Saya tidak punya maksud menjelekkan ide sustainable living. sama sekali. Tetapi, dalam menjalankan gaya hidup berkelanjutan perlu sikap kritis dan analisis dampak lingkungan. Tujuan saya semata-mata memberi masukan agar ppengamal sustainable living tidak salah kaprah dan dapat mengoptimalkan sustainable living. Akhir kata, tidak ada yang percuma dengan usaha menjaga bumi tetap lestari melalui sustainable living. Karena memang tidak ada gambaran sempurna tentang “keberlanjutan”. Kita dari sisi konsumen harus lebih kritis agar tak terjebak jerat greenwashing dan konsumsi berlebihan. Mari kita sama-sama menjaga bumi untuk generasi selanjutnya, satu hal yang tak kalah penting, yakni usaha konsumen tak akan membuahkan hasil tanpa melibatkan produsen dan pihak-pihak yang memiliki pengaruh.


*

Daftar Pustaka


Helsinki University. (2009). Bit Bang Rays to the Future. Finlandia: Helsinki University Print.

Indonesia, C. (2022, May 12). Gerah, Suhu Terpanas Bumi Diprediksi Cetak Rekor 2026. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220511133202-199-795459/gerah-suhu-terpanas-bumi-diprediksi-cetak-rekor-2026?utm_campaign=cnnsocmed&utm_medium=oa&utm_source=igstory&utm_content=moke


Indonesia, I. B. (2021, 4). Barang thrift, Dihargai Mahal karena Merek, Kondisi, Dan Lamanya Usia. Diakses dari https://inibaru.id/pasar-kreatif/barang-thrift-dihargai-mahal-karena-merek-kondisi-dan-lamanya-usia 


Kompas Cyber Media. (2019, September 10). Sisi Buruk tote bag Pengganti Kantong Plastik. Diakses dari https://lifestyle.kompas.com/read/2019/09/10/120800420/sisi-buruk-tote-bag-pengganti-kantong-plastik 


Lees, L., Slater, T., & Wyly, E. (2007). Gentrification. New York & London: Routledge.


Life cycle assessment of grocery carrier bags (1st ed.). (2018). Konvhagn, Denmark: The Danish Environmental Protection Agency.


Ronobir JK Rajjo (2020). The socioeconomic causes and effects of the gentrified thrifting experience. The Finxerunt Movement Journal Research, 1(1). DOI: 10.5281/zenodo.3983464


*

Artikel ini ditulis dalam rangkaian acara lomba opini Widyatama Journalism Fest 2022. Artikel ini juga memperoleh penghargaan sebagai juara 3 dalam lomba tersebut.


Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai