Seks bukan Hanya Obrolan Laki-laki

 

(Sumber foto: Flickr.com)

"Ngomongin ngewe ntar di-ewe nangis," dan komentar semacamnya kerap saya jumpai ketika saya atau perempuan lainnya bicara atau bercanda mengenai seks. Entah kesimpulan dari mana kalau perempuan bicara seks dianggap mau diperkosa? Seharusnya budaya macam ini patut kita kritisi bahwa ada ketidaksetaraan gender dalam kebebasan berpendapat. Alasan mengapa saya membahas ini, sebab menurut saya masih jarang dibahas. Dan banyak perempuan di sekitar saya yang enggan membicarakan seks dan tubuh mereka hanya karena takut dianggap perempuan nakal. Bermula dari pengalaman saya ketika baru menginjak belasan tahun dan ingin mengetahui bagaimana perempuan lain menyiasati perubahan fisik berupa rambut-rambut yang tumbuh di ketiak dan vagina. Alih-alih berbagi pengalaman justru teman-teman saya malah malu-malu kucing sambil membelokan topik pembicaraan. Sejak itulah saya berpikir, memang tidak boleh ya perempuan membicarakan seks?

Saya jadi ingat kalau sedari kecil, perempuan dituntut banyak hal, itulah yang saya rasakan. Misalnya duduklah yang manis jangan mengangkang atau bersila, kalau sudah besar harus patuh sama suami, harus pandai berhias diri dan menjaga tubuh tetap mulus. Sedari kecil saya sudah sering mendengar celoteh dari ibu saya. "Perempuan harus rawat tubuh, masa korengan, ntar nggak ada yang mau," katanya.

Doktrin tersebut menciptakan citra inferior terhadap tubuh perempuan sendiri. Misalnya, tuntutan harus memiliki tubuh mulus sempurna yang juga dilanggengkan media seperti cantik itu  ramping, dan berkulit mulus. Tentu, perempuan yang gagal memenuhi tuntutan tadi akan mengalami perasaan inferior atau kurang percaya diri terhadap kondisi tubuh mereka. Maggie Brennan, seorang psikolog dari Kanada, menemukan ketidakpuasan citra tubuh lebih umum terjadi pada kelompok perempuan ketimbang laki-laki (The International Honor Society in Psychology, 2010). Hasil temuannya menunjukkan perempuan mendapat nilai lebih tinggi pada penerapan standar penampilan yang diamini secara sosio-kultural daripada laki-laki. Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan memiliki citra tubuh lebih rendah dibanding laki-laki.

Kembali menyoal topik mengenai seks, selain tuntutan tubuh ideal bak artis bokep, perempuan sedari kecil juga dituntut lebih dapat menjaga sopan santun, katanya sih tidak boleh nakal. Beda dengan laki-laki yang kerap dianggap wajar untuk nakal. Selain pola asuh orang tua, Ini juga dilanggengkan dengan budaya lokal yang menurut saya tidak relavan lagi seperti budaya pingitan bagi perempuan di Jawa dan sumbang duo baleh yakni pantangan bagi perempuan di Minangkabau. Saya tidak bermaksud mengatakan suatu budaya atau tradisi itu buruk. Tetapi, agar budaya itu tetap sintas perlu penyesuaian  dengan masa kini. 

Pelanggengan tuntutan yang dibebankan kepada perempuan agar lebih banyak diam, manut dan sopan saya kira perlu diubah. Diam tak selalu emas, perempuan dituntut tutup mulut untuk membicarakan hal yang dianggap tabu seperti seks. Padahal, dengan diam, perempuan bakalan susah menego-siasikan preferensi seksual mereka sehingga mengakibatkan ketidak-setaraan kenikmatan dalam hubungan seksual. Bahkan dapat mengakibatkan marital rape atau pemerkosaan di dalam ikatan nikah, marital rape bisa terjadi karena ketiadaan ruang negosiasi dalam hubungan seksual. Ketika perempuan merasa enggan atau tidak nyaman, lalu bicara kepada pasangannya, kemudian mereka dianggap perempuan nakal, pelawan dan menyalahi kodrat.

Selain ketimpangan dalam relasi, anggapan kalau perempuan tabu untuk bicara seks dapat mempengaruhi jalannya seks edukasi. Coba bayangkan ketika ada penyuluhan edukasi seks yang disampaikan perempuan, lalu ada yang menganggap perempuan ini nakal? Memangnya edukasi seks hanya boleh dari sudut pandang laki-laki? Anggapan bahwa membicarakan seks tabu bagi perempuan, inilah yang justru menghambat edukasi seks, karena dalam edukasi seks perlu representasi gender yang setara. Bicara seks juga tak melulu harus soal hubungan badan, tapi juga untuk  mengenal tubuh dan diri sendiri.

Kita perlu ruang aman bagi laki-laki, perempuan dan gender lainnya untuk berani bicara seks. Selain sebagai kebebasan berekspresi, penting untuk bicara preferensi seksualitas terutama bagi perempuan yang kerap dituntut diam. Berbagai usaha dapat kita kerahkan, seperti tidak melakukan stigma buruk terhadap perempuan yang berani bicara mengenai seks, bagi para muda-mudi yang kelak akan menjadi orang tua, supaya menciptakan pola asuh yang setara dan tidak bias gender.


*

Artikel ini ditulis dalam rangkaian acara lomba opini yang dilaksanakan oleh LPM Surat Kabar Ganto UNP tahun 2022. Artikel ini juga memperoleh penghargaan sebagai opini terbaik dalam rangkaian acara tersebut.


Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai