Mengenal Budaya Keberagaman Gender Lewat Novel Tiba Sebelum Berangkat

 




  Tiba Sebelum Berangkat merupakan  karya yang masuk ke dalam posisi lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Ditulis oleh Faisal Oddang dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun yang sama. Novel ini menceritakan sejarah pembantaian para bissu pada tahun 1950-an di Sulawesi Selatan. 

  Kisah dibuka dengan kepiluan yang dialami seorang tahanan bernama Mapata. Mapata merupakan salah satu warga suku bugis asli serta seorang mantan bissu. Dia ditahan oleh oknum yang memberantas penganut kepercayaan selain dari yang diakui oleh undang-undang. Oknum tersebut menuding Mapata terlibat dalam pemberontakan tahun 1950.

  Selama ditahan Mapata melewati proses interogasi yang sadis dan memilukan. Melalui interogasi tersebut Mapata mengisahkan kembali masa lalunya serta konflik panas yang terjadi di tahun 1950. Di mana pada waktu itu terjadi pemberontakan oleh DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam. Saat itu dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Selain itu, Perselisihan DI/TII dengan tentara Indonesia juga tak terelakkan. Akibatnya warga desa yang kena imbasnya. Mereka memeras pasokan pangan dan barang dari warga, perselisihan tersebut juga membantai para bissu.

  Para bissu dibantai oleh DI/TII sebab dianggap menyalahi kodrat tuhan. Dari mereka yang dibantai ini, ada yang ditikam, dibakar, sedangkan yang menguasai ilmu kebatinan Bugis ditenggelamkan dengan batu. Mapata mendapat kronologi pembantaian tersebut dari salah seorang bissu yang selamat, yakni Puang Matua Rusmi. Saat itu ia menjadi toboto, atau pendamping bissu.

 Bissu sendiri, dalam budaya Bugis merupakan gender kelima yakni bukan laki-laki maupun perempuan. Bissu begitu dibutuhkan untuk memimpin tradisi upacara dan sebagai penasehat spiritual, serta mendoakan mereka yang sakit. Peran bissu dalam budaya Bugis yakni sebagai penyambung lidah masyarakat dengan Dewata, layaknya pemuka agama atau kepercayaan.

 Di dalam budaya masyarakat Bugis terdapat empat jenis gender lagi selain bissu. Yaitu makkunrai, oroani, calabai dan calalai. Pada novel ini dijelaskan melalui kutipan percakapan antara Puang Matua Rusmi dan Mapata, saat akan diangkat menjadi seorang bissu.

"Ketahuilah Pata, bissu bukan calalai atau perempuan kelaki-lakian, bukan pula calabai atau lelaki gemulai, bukan. Ketahuilah, Pata, bahwa kita orang  Bugis mengenal lima jenis manusia, yaitu lelaki, perempuan, calabai, calalai, dan bissu…."(Oddang, 2018: 161)

  Dari kutipan tersebut saya mencari lebih lanjut tentang lima gender di suku Bugis. Berikut yang saya temukan. Makkunrai adalah sebutan bagi perempuan cisgender. Oroane sebutan bagi laki-laki cisgender. Kemudian seperti dijelaskan dalam novel tersebut. Calabai untuk lelaki yang bertingkah layaknya perempuan dan calalai yakni perempuan yang bertingkah layaknya laki-laki. Calabai sendiri biasanya berperan penting dalam mempersiapkan acara pernikahan. Sedangkan calalai berperan layaknya laki-laki cisgender, mereka mencari nafkah, menjadi kepala keluarga, hingga melakukan pekerjaan berat.

  Dari novel inilah saya mengetahui jika keberagaman gender juga ada di budaya timur. Tentunya novel ini akan saya rekomendasikan ke teman-teman saya yang bilang seperti ini "LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender) bukan budaya kita, itu budaya barat" sungguh suatu pernyataan yang naif. Sebab mereka tak terlebih dulu memeriksa keberagaman budaya di Indonesia. Dan lagi, katanya mereka toleransi keberagaman, tetapi malah mendiskriminasi keberagaman gender.

  Kemudian berkaitan dengan gender, atau kosntruksi sosial di Indonesia. Menekankan bahwa perilaku gender yang ideal adalah yang sesuai dengan identitas seks mereka. Laki-laki haruslah bersikap maskulin, dan perempuan haruslah bersikap feminim. Inilah yang disebut heteronormativitas, sehingga kelompok transgender, homoseksual, lesbian sering dicap menyimpang karena mereka tidak bertindak sesuai apa yang sudah dikonstruksikan dalam  mayoritas masyarakat. 

  Selain dianggap menyimpang. Mereka juga kerap mengalami diskriminasi. Berita transpuan dibakar hidup-hidup hingga kini masih terngiang di kepala saya. Yang saya sadari setelah membaca novel ini, yakni praktik kekerasan serta diskriminasi terhadap gender non-biner yang mengatasnamakan agama ternyata sudah ada sejak lama. Iya, semenjak agama abrahamik menjajah, lantas orang-orang melakukan kekerasan atas dasar nama agama. Dengan dalih menyalahi kodrat, memang benar memiliki gender non-biner dilarang bagi agama tertentu. Yang perlu dipertanyakan, apakah kepercayaan para non-biner ini sama dengan kepercayaan Anda? Lalu, apakah tindakan mereka merugikan orang lain secara empiris? Pantaskah orang disebut dipukuli jika hanya mereka bukan laki-laki atau perempuan? Ini mah sama saja seperti mendiskriminasi identitas.

    Terakhir, untuk penutup saya akan memberikan impresi. Saya sangat merekomendasikan novel bergenre historical fiction ini. Namun, tidak untuk semua usia, sebab banyak adegan kekerasan yang memilukan, juga adegan seks yang lumayan eksplisit. Terlepas dari itu, novel ini saya kira sudah begitu apik dalam menceritakan konflik sejarah hingga kebudayaan Bugis yang terancam agama global. Penulis juga tak kalah hebat pula dalam memainkan emosi pembaca, narasi kepiluan nasib Mapata berhasil membuat saya menitikkan air mata.


Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai