Memaknai Kematian dalam Norwegian Wood

 


Selamat datang di label review buku ngawur ala Ais. Kali ini saya akan memberikan ulasan saya terhadap novel yang berjudul "Norwegian Wood" karya Haruki Murakami.


Saya tertarik membaca karya Murakami dikarenakan karya yang satu ini banyak direkomendasikan teman-teman komunitas. Bahkan, katanya "Norwegian Wood" pasti ada di setiap rumah di Jepang. Akhirnya saya memutuskan menghabisi lembar demi lembar "Norwegian Wood". 


Menceritakan kisah Watanabe 37 tahun, sang tokoh utama yang terbang ke masa 18 tahun silamnya di Tokyo. Norwegian Wood yang menjadi judul novel ini merupakan lagu dari The Beatles yang membuat otak Watanabe terbang ke masa 18 tahun silam. 

Tokyo merupakan tempat Watanabe kuliah, di sana ia menetap di asrama  satu kamar dengan Kopasgat si fasis yang cinta kebersihan nan konyol. Kehadiran kopasgat sungguh lucu, tetapi belum mampu membuat saya tertawa. Selain itu di asrama, Watanabe berteman dekat dengan Nagasawa-san, senior Watanabe yang sempurna nan ambisius. Pasti ia bakal jadi pejabat DPR yang suka main perempuan jika sudah lulus dari universitas.


Selama tinggal di asrama, Watanabe memperhatikan kepala asrama yang rajin melakukan upacara bendera. Pagi hari bendera dinaikkan sedangkan diturunkan kembali pada sore hari. Sama seperti di Indonesia, ada upacara penaikkan dan penurunan bendera. Dan bagian menariknya, Watanabe berpikir mengapa pada sore hari bendera diturunkan? Apakah negara tidak melindungi orang-orang yang bekerja pada malam hari. Bagian ini membuat saya bergumam "hmm.. benar juga ya"


Di Tokyo, Watanabe kembali bertemu gadis pujaan hatinya sejak SMA. Naoko, yang dahulu merupakan kekasih Kizuki sahabat Watanabe. Kizuki sendiri sudah meninggal karena bunuh diri  sewaktu SMA. Namun, hati Naoko tetap tak bisa berpaling dari Kizuki yang dikenalnya sejak kecil. Mungkin inilah yang membuat Naoko jadi hilang kewarasan.  


Penggambaran cerita dalam novel ini terasa suram. Kesuraman mulai berkurang karena tawa saya pecah karena kehadiran Midori, gadis tomboy yang merupakan teman sekelas Watanabe. Ia hadir dengan pertanyaan-pertanyaan konyol, nyeleneh, dan sedikit jorok. Midori menyukai Watanabe, meskipun ia memiliki pacar.  Midori sedikit egois, tapi syukurlah dengan kehadirannya saya jadi tertawa terbahak-bahak.


Meskipun dicintai Midori, Watanabe tetap mencintai Naoko. Ia bahkan merelakan waktunya untuk mengunjungi Naoko di tempat rehabilitasi di pegunungan. Di sana Naoko satu ruangan dengan Reiko-san yang merupakan mantan pasien rehabilitasi yang memilih menetap di sana.  


Kemudian menyoal kematian, saya menyukai bagaimana Watanabe memaknai kematian. Kematian hadir sebagai bagian kehidupan bukan terpisah dengan kehidupan. Hal tersebut ia rasakan sejak kehilangan Kizuki. Ini merupakan penggambaran bagaimana perasaan kita ikut mati saat bagian kehidupan kita seperti orang yang disayang meninggal dunia. Mereka yang meninggal dunia merupakan bagian dari kehidupan kita. Itulah mengapa kematian merupakan bagian dari kehidupan.


Kemudian menyoal tentang bunuh diri, bunuh diri bagaikan solusi lepas dari kungkungan kebebasan. Kakak Naoko yang tak disebutkan namanya juga meninggal karena bunuh diri. Naoko menceritakan kakaknya sebagai sosok sempurna di sekolah yang setia mendengarkannya. Tetapi, ia tak pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Ia meninggal bunuh diri tanpa meninggalkan kata-kata. Begitu juga dengan Kizuki yang bunuh diri tanpa meninggalkan kata-kata. 


Saya berasumsi bunuh diri ini sepeti metafora melarikan diri atau kabur dari rumah yang mengekang. Memangnya ada orang yang pamit untuk kabur? Kungkungan rutinitas, pengakuan orang lain, ketakutan akan dibenci dalam hidup memang memuakkan. Sehingga tak sanggup diucapkan dalam kata-kata, orang yang memilih bunuh diri, menjalani hidup seperti budak pemuas sang tuan rumah. Dan kemudian melarikan diri dari rumah. Kematian bagaikan kebebasan bagi sebagian orang.


Terakhir dari segi diksi, metafora, hingga leluconnya saya sangat menyukainya. Disajikan dengan detail dan cukup puitis. Tak lupa pula dengan menyelipkan satire serta kritik terhadap aktivis mahasiswa pada saat itu. 

 Untuk disclaimer, adegan seks di sini digambarkan dengan cukup eksplisit. Mungkin bagi sebagian orang yang mentabukan seks  akan merasa kurang nyaman. Dan sepertinya di Jepang, kesehatan mental lebih tabu dibanding membahas seks. Dalam novel ini tokoh-tokohnya cukup terbuka jika membahas seks.


Aku, sahabatku yang mati bunuh diri dan kekasih sahabatku yang kucintai gila karenanya. Mungkin satu kalimat ini bisa menggambarkan keseluruhan cerita. Bukan bermaksud meledek, tetapi saya sangat suka bagaimana tragedi digambarkan dalam novel ini. Suram, detail, puitis, diselipi satire, dan filosofis. Yang merupakan tipe tulisan yang saya sukai.


Comments

  1. Dulu pernah nonton filmnya, terasa suasana yang cukup gelap. Setelah membaca review ini jadi sadar kalo memang bukunya memang bernuansa begitu

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai