Dalam Kurung

 





Dua ratus hari, kuhabiskan waktu sebanyak itu di dalam kamar. Kali ini Aku telah memecahkan rekor terlama tinggal di rumah orang tua setelah tujuh tahun tinggal di asrama. Setiap hari kuisi rutinitasku dengan rutinitas anak rumahan pada umumnya. Seperti tidur, makan, membantu orang tua, membaca buku, dan menulis bualan sehari-hari. Siang itukurebahkan badanku di atas kasur yang nyaman, sembari mengelus layar smartphone. Mengelus smartphone adalah agenda wajib, apalagi saat ini ada yang namanya belajar daring alias dalam jaringan. Aku sedang membaca pesan-pesan di grup kelas, memeriksa keberadaan hal yang kadang menyenangkan tapi lebih banyak membebani, tentu saja tugas kuliah.

Deru percakapan dari televisi mengganggu konsentrasiku dalam membaca. Letak kamarku berhadapan dengan ruangan di mana televisi sialan itu berbunyi. Bunyi televisi memberitakan hiruk pikuk duniawi memekakan telingaku yang cinta kedamaian. Tubuhku beralih menuju televisi yang menyala tanpa penonton,  langkahku tercekat saat seorang di dalam televisi yang tengah membaca berita menyebut "Wahai anak muda apa yang dapat kau lakukan untuk negaramu?" Entah mengapa Aku merasa dipanggil. Tiba-tiba pembaca berita itu menatapku tajam sembari menyebutkan kalimat yang sama, bukan hanya itu dia juga menyebut namaku.

Aku yakin aku sedang tidak mabuk, dengan gagap Aku menjawab "Memangnya apa yang perlu dilakukan anak muda tak punya ambisi sepertiku?" Pembaca berita itu tersenyum kecut, lalu ia berkata "Kemarilah, mari kita bicara" Sambil mengulurkan tangannya. Mengejutkan bagaimana tangan itu bisa keluar dari televisi. Aku turuti saja kehendaknya, uluran tanganku ditangkapnya dan tiba-tiba saja Aku sudah berada di studio bersama pembaca berita tersebut. "Lanjutkan" Ucapnya tegas. Aku yang kebingungan terdiam sejenak sembari meremas tanganku yang gemetaran. 

Kemudian Aku mulai melanjutkan omong kosongku "Apa yang harus kulakukan, Aku tak punya kuasa. Namun, akhir-akhir ini Aku menyadari bahwa orang dewasa yang kerap masuk berita itu memiliki masa kecil yang kurang bahagia. Lihat saja mereka saling ejek mengejek layaknya anak Sekolah Dasar yang saling mencela nama orang tua masing-masing. Lucunya lagi siapa yang merasa terhina dan memiliki kuasa berhak menuntut si pencela dengan hukuman." Pembaca berita itu terlihat serius mendengar omong kosongku, "Orang dewasa seperti mereka kurang bahagia pada masa kanak-kanak. Apakah kita perlu menghapuskan pendidikan formal yang dapat merenggut kebahagiaan anak-anak? Atau kewajiban pendidikan bagi orang yang ingin menikah dan mempunyai anak agar tahu cara membahagiakan anak?"  Tanggapnya sembari meletakan tangan di dagu, tampang sok serius batinku.

Dengan gaya sok tahuku Aku menjawab "Kita ajarkan saja dari anak-anak untuk saling mencela satu sama lain. Mereka yang kurang bahagia pasti dilarang mencela oleh orang tuanya." Tiba-tiba ada getaran, studio yang kutempati bersama pembaca beritas itu mulai runtuh. Mataku terbelalak menatap langit-langit kamar "Hanya mimpi" Gumamku. 

Aku mulai beranjak dari kasurku yang sekenyal marshmallow. Karena kerongkonganku terasa kering, kuputuskan untuk mengambil segelas air di dapur. Kuturunkan kakiku satu persatu, alangkah terkejutnya. Lantai kamarku sudah seperti kolam setinggi pergelangan kaki. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, Aku berseru memanggil ibuku, namun tak ada jawaban. Akhirnya kulanjutkan langkahku sambil memainkan air. Saat mencapai dapur, ada seorang wanita dengan rambut sedang berwarna coklat, memakai pakaian seperti Alice di Insidious, rupa mukanya mirip tetapi lebih muda. Mungkin Alice versi muda batinku. Ia menyodorkanku minuman, tanpa banyak tanya Aku meminumnya. Rasanya seperti jamu tradisional campuran jahe dan kunyit. Seketika cahaya di ruangan rumahku menjadi lebih redup, nyaris tak bisa melihat apapun selain wanita mirip Alice di hadapanku. Wanita itu menyodorkan lentera kepadaku, kemudian tanpa bicara ia menghilang. Gelap, dingin serta sunyi Aku hanya mengandalkan lentera yang diberi wanita itu. Ketika Aku memulai langkahku untuk kembali ke kamar, Aku mendengar suara-suara yang memanggilku. Aku tak menoleh, Aku lanjutkan saja langkahku.

Tiba-tiba seonggok kerangka manusia bergerak mencegatku, ia berkata "Kau tidak akan bisa lari dari dunia" Aku terkejut terpaku tak bergerak. Ia melanjutkan bualannya "Aku adalah representasi dunia nyatamu, kau tidak bisa lari dariku. Penghuni dunia nyata yang jahat tak suka mendengarmu, mereka hanya suka memanfaatkanmu. Perilaku mereka sama saja dengan bagaimana mereka merusak alam menghancurkan dunia. Tidak hanya merusak mahluk lain, sesamanya bahkan dirusak, jika tak berguna dibuang." Kerangka manusia itu kemudian diam sambil menunduk. Saat kutundukan kepalaku kakiku sudah terikat rantai, air yang menggenang semakin tinggi, ku abaikan tubuhku yang melayang-layang bersama arus. Aku melihat cahaya samar-samar dari atas, air mulai memenuhi saluran pernapasanku. Aku pasrah saja, akhirnya aku mengakhiri hidup.

Alarmku berbunyi, Aku terbangun lagi-lagi hanya mimpi gumamku. Aku menepuk-nepuk pipiku memastikan kali ini bukan mimpi. Segera ku bergegas mengerjakan tugas kuliahku membuat cerpen. Aku membuka laptop-ku Aku mulai paragarf dengan "Dua ratus hari, kuhabiskan waktu sebanyak itu di kamar."

Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai