Nasib Wartawan Media Lokal, Tanggung Jawab Siapa?

 "Dari kecil saya ingin jadi wartawan. Nggak nyangka secepat ini bisa jadi wartawan. Nggak apa-apa masih wartawan daerah Sumbar dulu, saya senang bisa menjadi wartawan." ungkapnya.


Daffa merupakan seorang wartawan daerah Sumatera Barat. Wartawan merupakan profesi yang ia impikan sejak kecil, tanpa ia duga, Daffa sudah mulai menggeluti profesi tersebut sebelum dirinya memperoleh gelar sarjana.


Usai mengungkapkan antusiasnya terhadap profesi tersebut, Daffa menyesalkan berbagai hal yang ia temui di industri media lokal.


“Saya lelah menjadi wartawan di daerah." Ungkap Daffa. Lelaki berambut keriting itu menceritakan bagaimana ia sering mengalami penundaan pencairan upah, kontrak yang tidak jelas hingga target berita yang banyak setiap harinya.


“Seharusnya kami diupah setiap bulan. Tetapi setelah bangun, jatuh sampai mogok kerja, upah saya belum juga cair, kemudian setelah tiga bulan menunggu upah, saya memutuskan untuk berhenti. ” Terang pria berkacamata tersebut. Ia juga menambahkan bahwa upahnya masih belum kunjung cair hingga saat ini.


Kemudian Daffa menyambung, bahwa upah yang ia peroleh selama menjadi pekerja media tidak mencapai UMP (Upah Minimum Provinsi).


"UMP Sumbar itu sekitar Rp 2.500.000-an saat itu. Tapi upah yang saya dapat setelah mencoba bekerja di dua media lokal, masih jauh kurang dari angka tersebut." katanya.


Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, UMP Sumbar memiliki nominal sebesar Rp 2.512.539. Kemudian menurut Surat Keputusan  Gubernur Sumatera Barat, Nomor: 562-863-2022 tanggal 25 November 2022 tentang Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat Tahun 2023, UMP Sumbar meningkat sebanyak 9,15 persen, menjadi Rp 2.742.476.


Daffa menambahkan bahwa pilihannya menjadi wartawan bukan hanya sekadar panggilan hati, tetapi juga untuk menyambung kehidupan.


"Saya memilih menjadi wartawan itu memang panggilan hati dan kesukaan saya di situ. Tapi di sisi lain, saya juga butuh biaya untuk menunjang kehidupan sehari-hari saya." ungkap Daffa menjelaskan.


Lelaki Minang itu juga menambahkan bahwa dirinya juga tidak terlalu bergantung finansial kepada orangtuanya. 

"Soalnya kalau biaya kehidupan seperti kos, makan, dan bensin, ada uang pensiunan almarhum orangtua, tetapi masih jauh dari kata cukup. Lagian bensin sekarang juga mahal." katanya.


Senada dengan keluh kesah Daffa, Fachri Hamzah, wartawan sekaligus anggota dari AJI Padang mengungkapkan keluh kesahnya selama bekerja sebagai wartawan lokal. “Saya menulis tujuh berita dalam sehari, sedangkan upah itu hanya Rp 30.000, pas-pasan buat makan.” ungkapnya sembari memberi gestur tiga jari.


Tak hanya soal upah, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Padang pada Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2022 mengungkapkan permasalahan kesejahteraan dengan menggelar acara Webinar. 


Melansir dari rilis AJI Padang, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Dinas Tenaga Kerja dan Industri Kota Padang, Yose Rizal mengungkapkan berbagai permasalahan wartawan media lokal yaitu tidak adanya kejelasan hubungan kerja.

(Yose Rizal dalam acara Webinar yang diselenggarakan AJI Padang pada Mei 2022 lalu)


"Banyak saya menemui wartawan yang tidak mempunyai kejelasan. Wartawan hanya diberikan kartu pers. Begitu kondisinya,” terangnya.


Dirinya juga menambahkan beberapa permasalah lain seperti jam kerja.

 “Terkadang rekan-rekan jurnalis harus meliput sebuah event pukul 03.00 WIB, misalnya. Di saat kami orang biasa terlelap, rekan-rekan jurnalis harus bekerja di daerah-daerah bencana, baik sosial maupun alam. Ini sangat tidak beraturan dan tidak menentukan waktu kerja bagi jurnalis,” ujarnya.


Masalah lainnya, upah yang relatif rendah, banyak jurnalis yang gajinya hanya berdasarkan berita yang terbit dan berdasarkan iklan yang mereka dapatkan. Tidak ada upah tetap setiap bulannya.


Selain itu, sebagian jurnalis belum memiliki jaminan sosial. Semestinya jurnalis terdaftar sebagai anggota BPJS. Perlindungan K3 bagi jurnalis juga masih sangat minim. “Jurnalis harus mengorbankan tubuhnya, keluarga hanya untuk sebuah berita,” katanya.


Padahal, menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja harus memperoleh upah yang layak, memperoleh pengembangan kompetensi, melaksanakan pekerjaan sesuai jam kerja, serta mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.


Menurut Fachri, permasalahan berupa pengabaian hak pekerja media dapat disebabkan bobroknya manajemen dalam suatu media. 


"Media saat mendaftarkan diri itu ada syarat kelayakannya, misalnya sudah beroperasi selama dua tahun, memiliki aturan tertulis yang jelas, serta bagaimana status kontrak pekerja hingga upah." Terangnya.


"Namun, yang terjadi di lapangan, banyak media-media memasukkan status kontrak, atutan bahkan sampai slip gaji palsu. Jadi sekadar untuk formalitas saja." Tambah Fachri.


Padahal menurut laman resmi Dewan Pers, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti perusahaan harus memiliki keuangan yang cukup dan wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.


Dia juga menambahkan selain hal-hal administratif, secara struktural, suatu media juga harus memiliki kepala atau pimpinan redaksi dengan latar belakang jurnalis berstatus utama. 

"Jadi Pimred itu harus punya latar belakang jurnalis yang sudah terverifikasi dan ditetapkan dengan status wartawan utama oleh Dewan Pers. Tetapi yang terjadi di sini, tidak semua pimpinan redaksi memiliki status tersebut. " Katanya. 


Menurut Daffa, permasalah pemenuhan hak pekerja media dapat berujung kepada pelanggaran kode etik.

"Kalau, wartawan tak dijamin hak-haknya, perusahaan tidak jelas, upah ditunda bahkan tidak cair, akibatnya wartawan akan mencari pundi-pundi di luar media dan itu bisa jadi pelanggaran kode etik." Katanya.


"Misalnya jadi wartawan amplop, memperoleh uang selain dari media. Misalnya menulis berita pesanan atau advertorial, biasanya banyak itu dari pejabat atau calon kepala daerah." Jelas Daffa dengan gamblang.


Rinaldi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas berpendapat bahwa kondisi media lokal tidaklah sehat, terutama dari produk jurnalistik yang dihasilkan.


"Iklim media lokal tidaklah sehat, seharusnya jurnalisme itu berperan menjadi anjing penjaga. Ketika ada yang tidak biasa, anjing haruslah menggonggong. Tapi itu tidak terjadi di media lokal," Jelasnya.


Dirinya juga menambahkan beberapa kasus yang seharusnya menjadi fokus media lokal.


"Misalnya jalanan berlubang parah, tapi diperbaikinya baru akhir tahun, lalu ada terminal yang dibangun untuk menertibkan parkiran liar. Nyatanya masih banyak transportasi umum seperti tranex yang masih sembarangan parkir. Seharusnya media bicara tentang itu." Jelasnya.


Terlepas dari permasalahan tersebut, nyatanya tidak semua media lokal mengabaikan hak-hak pekerjanya. Wahyu salah satu wartawan daerah di Sumbar, mengungkapkan bahwa dirinya diperlakukan dengan layak sebagai pekerja di media. 


"Ada upah bulanan untuk pekerja kontrak, sedangkan yang tetap itu ada upah 13 namanya, semacam tunjangan. Terus ada asuransi kesehatan, Tunjangan Hari Raya (THR), dan ongkos transportasi kalau jaraknya lebih dari 60 kilometer." Ungkap pria dengan rambut sebahu tersebut, menjelaskan.


Menurut Wahyu, selain manajemen, tingkat kemapanan ekonomi suatu perusahaan media juga berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja media.


"Media yang udah mapan ekonominya, punya penghasilan selain iklan itu juga penting bagi suatu perusahaan media. Karena ada karyawan yang harus diupah, tentu pendapatan perusahaan harus diperluas, tak hanya dari iklan saja." Pungkasnya.


Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai