Berdamai dengan Kata 'Murahan'



Murahan, menurutku kata tersebut dibebankan kepada perempuan saja. Lihat saja, di sekitar lingkungan perempuan. Kalau kau tak menutup kulitmu serapat kain kafan, kau akan dituding sebagai barang obral. Anehnya, kenapa barang obral dan murahan itu identik dengan perempuan saja?

Murah dan mahalnya perempuan biasanya dinilai dari seberapa kulitmu tertutup, seberapa susah dan payahnya kau diajak menjalani hubungan dengan lelaki, seberapa sulitnya kau diajak tidur. Semakin kulitmu tertutup dan sulit diajak berhubungan artinya semakin mahal. Oiya! Jangan lupa kau juga harus menjaga selaput daramu agar tak robek supaya harga dirimu tinggi!

Memangnya perempuan memang dirancang untuk jadi mahluk yang diisolasi? Dan layak dihakimi jika berpakaian terbuka, dan mudah berbaur dengan lawan jenis?

Inilah mengapa aku tidak menilai berharganya diriku dari konstruksi sosial tolol yang aku sebutkan tadi. Lihatlah nestapa hidup para penyintas gara-gara dikatai mahluk 'murahan'

Sebagai penyintas yang dulunya mengamini konsep harga diri perempuan yang usang, sempat terbesit di benakku untuk mengakhiri nyawaku.

Tapi setelah aku pikir-pikir, kulit tak dapat menentukan seberapa berharganya aku. 

Mau dilihat atau disentuh rasanya tidak ada yang berkurang. Harta dan ilmu tidak berkurang hanya karena kulit, hubungan dengan lelaki maupun setitik selaput dara.

Untuk apa aku kuliah, meniti jenjang karir, dan memiliki prestasi kalau harga perempuan cuma dinilai dari kulit dan secuil selaput dara? Memangnya lelaki menikahi perempuan cuma karena vagina?

Comments

Popular posts from this blog

Menggali Sebab Ketidakadilan Gender

Salah Kaprah dalam Mengamalkan Sustainable Living

Hidup Bahagia dengan Berani Tidak Disukai